Langsung ke konten utama

Unggulan

Review Buku - The Things You Can See Only When You Slow Down: How to be Calm in a Busy World

The Things You Can See Only When You Slow Down (sumber dok. pribadi) Tepat seperti judulnya The Things You Can See Only When You Slow Down , buku ini memang harus dinikmati secara " slow down " pada waktu luang dalam keadaan pikiran yang tenang ditambah secangkir teh. Kurasa buku ini juga bisa membantu kalian yang butuh healing tanpa perlu traveling . Ini adalah salah satu cara healing yang ekonomis dan praktis. Buku ini seperti angin sepoi di musim semi. Ya, seperti itulah kira-kira kesan yang aku rasakan ketika sedang membaca buku ini. Membuat hati terasa nyaman dan ringan ketika membaca tiap chapter yang ada. Terdapat 8 chapter yaitu (1) Rest, (2) Mindfulness, (3) Passion, (4) Relationships, (5) Love, (6) Life, (7) The Future, (8) Spirituality. Keseluruhan chapter pastinya bisa dibilang penting tapi aku akan mereview beberapa saja supaya kalian makin penasaran baca buku ini.  Chapter 1 - Rest Bila kalian sering merasa kesulitan mengendalikan emosi negatif, seperti anger

Good Night England - (Part 2)

Awalnya logika tidak mau semudah itu mengakui bahwa sesingkat itu waktu yang dibutuhkan perasaan untuk mencintai. Dalam fisika, jarak dan waktu adalah faktor utama yang menentukan kecepatan. Tapi dalam kasus yang kualami sang waktu memainkan perannya secara ajaib. Jarak tak menjadi halangan bahwa perasaanku melesat begitu cepat. Seolah tak mempertimbangkan lama perkenalan.  
Cukup dengan beberapa hari yang terasa berkesan lewat tulisan. Aku tertarik. Kemudian ada canda dan tawa mengalun merdu di telinga. Aku terhanyut. Hanyut namun semakin tinggi ke angkasa. Memberi kesejukan berbeda seolah dia semakin mendekatkanku pada Tuhan. Tapi kini terbukti dia menghilang dengan meninggalkan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang tak mungkin untuk aku jawab sendirian. Meninggalkanku terhempas dengan sayap-sayap patah yang hingga kini mati-matian berusaha aku kuatkan.
Entah apa aku masih bisa percaya ada kebaikan dalam dirinya. Aku dan dia hanya manusia yang berusaha mencari kebahagiaan yang terbaik. Mungkin kami tidak bisa saling membahagiakan. Hingga yang terjadi adalah kebahagiaan salah satu dari kami harus dikorbankan. Aku tidak berani membanggakan dengan menyebutkan siapa yang sesungguhnya telah dikorbankan. Tapi mungkin siapapun yang dikorbankan layak untuk mendapatkan yang jauh lebih baik dari ini.
Aku memang kecewa tapi terlalu takut untuk membenci. Takut semakin tenggelam dalam pusaran kegelapan bernama dendam. Sejenak sempat berharap dia bisa merasakan apa yang aku rasakan. Tapi aku tidak menyadari bahwa kebencian itu justru semakin menyakiti diriku. Benci yang sia-sia karena dia takkan peduli padaku. Aku putuskan untuk mengakhiri penderitaan yang aku buat sendiri. Aku ingin bangkit dengan tersenyum. Kemudian, berkata aku ikhlaskan dia, Ya Allah.


*bersambung...

Komentar