Judul : Raksasa Dari Jogja
Penulis : Dwitasari
Halaman : 274 hlm, 18 cm
Cetak : 2012 (cetakan ketiga)
Penerbit : Plot Point (PT. Bentang
Pustaka), Jakarta
ISBN : 978-602-948-123-5
Rating
: (***) -dari 5
bintang
Akhirnya
kesampaian juga baca novel ini. Sebenarnya ada beberapa faktor yang membuatku
penasaran dengan buku ini. Pertama, setelah membaca Jatuh Cinta Diam-Diam aku
mulai tertarik dengan karya Dwitasari yang lain, karena aku suka ungkapan khas
Dwitasari yang puitis namun sering kali tajam terdengar. Kedua, aku ingin
membuktikan alasan kenapa banyak orang yang memandang sebelah mata dan secara
lantang me-review bahwa novel ini
mengecewakan mereka. Ketiga, mungkin saja ceritanya tidak benar-benar bagai
bencana karena aku dengar novel ini akan diangkat ke layar lebar. Jadi kali ini
aku mau membahas novel ini menurut sudut pandangku. Tapi akan aku ceritakan
dulu garis besar novel ini.
Sinopsis
Pernikahan adalah sebuah ikatan suci
yang seharusnya membawa kebahagiaan. Tapi bukan gambaran itu yang ada di benak
Bianca, seorang gadis yang terbiasa dengan keributan orangtuanya. Tidak ada lagi
tawa bahkan sorot mata hangat penuh kasih. Kini hanya ada tatapan dingin penuh
amarah dari sorot mata Ayah. Tangis Ibu yang tak berdaya akan siksaan Ayah. Bianca
menilai sinis akan para lelaki karena terbayang sosok Ayah yang temperamental.
Disisi lain ada sahabat senasib memiliki latar belakang keluarga yang tidak
jauh berbeda dari Bianca. Tapi kenapa orang yang dia anggap sebagai sahabat
sejatinya justru berbalik menghancurkan sisa hatinya yang sudah remuk kini
semakin lebur bagai debu. Bianca semakin takut akan cinta. Bianca memilih untuk
melanjutkan hidupnya di Jogjakarta, tempat yang menyimpan kenangan manis saat
dia masih kecil. Bianca sudah lelah dengan segala masalah yang membelenggunya
di Jakarta. Tak disangka belum lama Bianca menginjakkan kaki di Jogja, dia
bertemu dengan sosok yang mengusik ketenangan yang baru sebentar dia rasakan.
Sosok “raksasa” yang telah memancing rasa penasaran Bianca. Akankah tembok yang
telah dia susun tinggi bisa digoyahkan oleh “raksasa”.?
Review
Mau tahu pendapatku tentang novel ini?
Menurutku novel ini tidak seburuk itu. Sepertinya para pembaca menaruh harapan
tinggi terhadap novel ini karena membandingkan dengan karya Dwitasari yang lain.
Mungkin karena menyuguhkan beberapa hal yang berbeda dan unik dari sebelumnya.
Mulai dari latar belakang tokoh utama yang berasal dari keluarga tidak
harmonis, konflik cinta segitiga antara sahabat, hingga kemunculan tokoh
“Raksasa Jogja”, dan ungkapan kekesalan yang frontal seolah tidak tersaring.
Setiap orang pasti memiliki gaya menulis yang khas dan menurutku novel ini
masih wajar. Walau kuakui memang terdengar terlalu kasar apalagi karena setting tempat di Jogja yang terkenal
santun.
Karakter Bianca terasa mengambang,
contohnya karena awalnya digambarkan sebagai sosok yang tidak percaya cinta
tapi justru dengan mudah dia jatuh cinta lagi. Bianca sebagai sosok yang
awalnya tampak baik dan dewasa, tiba-tiba menjadi rancu dilihat dari dialog
antara tokoh yang justru semakin memperlihatkan karakter Bianca yang sensitif
dan sinis. Sehingga sering kali Bianca memancing perdebatan yang bisa membuat
kita gemas. Mungkin seperti itulah kondisi remaja yang dihadapkan pada konflik
keluarga. Mungkin bila sejak awal pembaca sudah dipancing untuk membenci sosok
Ayah tapi ternyata tujuan itu tidak sampai padaku. Sepanjang cerita aku justru
masih bingung dengan sikap Ayah, apa alasan yang melatarbelakangi pertengkaran
tersebut.
Sebenarnya ide pokok novel ini bagus
karena pemilihan konflik yang tampak complicated
dan beruntun. Alur cerita yang terasa cepat untuk sebuah cerita yang mengusung
banyak permasalahan. Seperti terburu-buru mengurai masalah dan serasa banyak
bagian yang hilang dari cerita ini. Banyak konflik tapi seperti kehilangan
fokus cerita karena kurang digarap dengan matang, detail dan mendalam.
Dwitasari terlalu singkat menceritakan
tentang Bianca dan Gabriel. Padahal sejak awal ditekankan bahwa Bianca adalah
sosok yang tidak percaya akan cinta tapi menurutku konflik romansanya malah
sederhana dan terlalu cepat selesai. Justru novel ini banyak menguraikan perang
batin Bianca sendiri. Konflik Bianca dan Kevin juga seolah ikut mendominasi dan
seperti berlebihan. Konflik penting tidak digali lebih dalam dan tidak menguras
emosi, sehingga aku merasa anti-klimaks. Mungkin kalau dikembangkan lagi bisa
lebih bagus, karena sepertinya 274 halaman belum cukup membuat cerita ini bisa
membuat gemas pembaca.
Walaupun novel ini tidak berhasil
menciptakan perasaan roller coaster but, over all it’s not too bad. Hal yang aku tetap suka
adalah gaya Dwitasari yang selalu menyisipkan banyak ungkapan-ungkapan tajam
dan pedas. Semoga lancar penggarapan layar lebarnya dan berhasil
memvisualisasikan novel ini dengan baik.
Komentar
Posting Komentar